TOMOHON, – Pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tomohon berpotensi melanggar hukum.
Pasalnya, pembahasan atau penetapan APBD-P harus dilakukan oleh pimpinan definitif DPRD Tomohon, sedangkan saat ini, gedung Parlemen masih dipimpin oleh pimpinan sementara.
”Pimpinan sementara DPRD tidak memiliki kewenangan untuk membahas dan menetapkan Perda, termasuk Perda tentang APBDP,” kata Toar Polakitan, Anggota DPRD Tomohon dari Partai Golkar, Jumat (20/9).
Dikatakan, hal ini berlawanan dengan PP Nomor 12 Tahun 2018, yang menjelaskan tentang tugas dan fungsi pimpinan sementara DPRD.
Faktanya, Pimpinan sementara DPRD hanya diberi kewenangan memimpin rapat DPRD pertama kali, memfasilitasi pembentukan fraksi, serta memfasilitasi pemilihan pimpinan DPRD definitif.
“Tidak disebutkan membahas, atau menetapkan Perda, termasuk Perda APBDP,” jelas Toar Polakitan yang sudah periode kedua menjabat anggota DPRD Kota Tomohon.
Ia menambahkan, pimpinan sementara hanya berperan dalam memastikan kelancaran proses administrasi dan pembentukan alat kelengkapan DPRD.
“Namun tidak memiliki kewenangan legislatif yang penuh,” tegas Toar.
Oleh karena itu, lanjut dia, pembahasan dan pengesahan APBDP harus menunggu sampai pimpinan DPRD definitif dilantik, dan DPRD telah terbentuk secara lengkap.
Kemudian, soal robek-merobek absen untuk paripurna pembahasan APBD-P, Polakitan mengatakan itu dilakukan lantaran pembahasan APBD-P 2024 dinilai inkonstitusional alias menyalahi aturan.
“Seharusnya belum ada paripurna seperti itu,” terang Toal Polakitan.
Bagaimana jika pihak eksekutif dalam hal ini Wali kota mendesak untuk dilakukan pembahasan hingga penetapan APBDP oleh pimpinan sementara?
DPD II Partai Golkar Kota Tomohon melalui Sekretaris Stenly Lasut dan Bendahara Gerard Jonas Lapian SE MAP mengatakan, hal tersebut tidak dapat dilaksanakan karena alasan hukum dan tata kelola pemerintahan yakni, kewenangan pimpinan sementara terbatas.
Pimpinan sementara hanya memiliki kewenangan administratif yang terbatas untuk memfasilitasi pembentukan alat kelengkapan DPRD dan pemilihan pimpinan definitif.
Mereka tidak memiliki wewenang legislasi untuk membahas atau menetapkan kebijakan daerah seperti APBDP.
”Ini yang menjadi alasan Partai Golkar untuk tidak membahas APBDP jika dilakukan oleh pimpinan sementara DPRD,” jelas Lasut dan Lapian.